Subdit Indag Ditreskrimsus Polda Metro Jaya membongkar kasus importasi, pangan, dan kosmetik ilegal dengan menetapkan delapan orang menjadi tersangka. Dari delapan tersangka, enam di antaranya merupakan WNI berinisial MT (43), DE (42), RE (37), FF (45), M (40) dan MF (23). Sementara satu orang merupakan WNA asal Tiongkok berinisial LX (43) dan mantan WN Nigeria berinisial A (51).
Namun, kedelapan tersangka ini tidak dilakukan penahanan karena jeratan pasal yang di bawah lima tahun penjara. "8 perkara dibagi tiga klaster. Pertama importasi, di bidang pangan, di bidang perlindungan konsumen dan tindak pidana kesehatan," kata Wadirreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Hendri Umar dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (6/8/2024). Hendri mengatakan untuk kasus importasi ilegal ini ada empat kasus.
Pertama, importasi barang elektronik berupa drone dan jam tangan digital yang tidak bersertifikat Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) dan tanpa panduan berlabel bahasa Indonesia. Orang yang Sama, Fifi Lety ungkap Sosok yang Mau Menggagalkannya Maju Pilkada 2024 Posbelitung.co Kunci Jawaban PAI Kelas 12 Halaman 31 37 Kurikulum Merdeka, Penilaian Pengetahuan Bab 1 Halaman 4
Dr Zaidul Akbar Ungkap Ramuan Herbal Untuk Hancurkan Batu Ginjal, Cukup Direbus Serambinews.com "Kedua, dugaan tindak pidana kesediaan farmasi berupa salep diduga berasal China diperdagangkan tanpa izin edar. Ketiga, mengimpor dan memperdagangkan barang berupa kosmetik dari Nigeria di mana berbagai macam merk tidak memiliki izin edar," ucapnya. Keempat, yakni kasus menyimpan dan memperdagangkan pakaian impor bekas yang tidak sesuai dengan standar dan mutu yang diedarkan. Pelaku diduga merupakan warga negara Tiongkok.
Hendri melanjutkan klaster kedua yang berhasil diungkap yakni di bidang pangan yakni peredaran bakso dan minyak goreng tanpa izin edar. "Bahan pokok yang digunakan pelaku bilang daging sapi tapi di laboratorium hanya tepung dan ditambah jeroan dari leher sapi. Di blender dijadikan bahan dasar bakso," ucapnya. "Kedua, terkait memproduksi mengedarkan minyak goreng kemasan dikatakan minyak goreng premium. Tetapi di laboratorium bukan bagian dari premium. Oleh si pelaku memberi label agar harga semakin tinggi. Tidak memiliki izin edar dan tidak punya sertifikat standar SNI," sambungnya.
Selanjutnya klaster yang ketiga yakni terkait di bidang kesehatan dan perlindungan konsumen khususnya produk kosmetik. "Memproduksi dan mengedarkan sediaan farmasi sabun cair sampo dan handbody gunakan berbagai merek internasional dan hampir semua produk sudah beredar luas di masyarakat. Dilakukan melawan hukum tanpa izin edar resmi," ungkapnya. Kedua, memproduksi dan edarkan ketersediaan farmasi berupa sabun mandi yang dijual online dengan pasang iklan merek terkenal.
Adapun total kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan para pelaku mencapai angka Rp 12 miliar dari kasus yang sudah dilakukan sejak tahun 2023. Sementara itu, Kasubdit Indag Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Victor Inkiriwang menyebut dari pengungkapan ini, ada produk yang dibuat dari limbah yang membahayakan kesehatan. "Kami periksa laboratoris apakah produk memiliki kadar sesuai, apakah di dalam terkandung mirko organik maupun kimia di bawah standar," ungkapnya.
Lulusan FBI Nasional Academy tahun 2023 ini mengatakan dalam kasus ini pihaknya berhasil mengamankan sejumlah barang bukti yang belum diedarkan ke masyarakat. Barang bukti itu yakni 395 ball pakaian bekas, 931 pcs peralatan elektronik berupa (Drone dan Jam tangan), 930 pcs kosmetik impor dari Nigeria dan China, 1.997,5 liter berbagai macam kosmetik berupa sabun, shampo, body scrub, sabun bayi, handbody, 540 Botol minyak goreng kemasan merek jenius 800 ml, dan 2.275 bungkus bakso. Dalam kasus ini, para tersangka disangkakan Pasal 110, Pasal 111 juncto Pasal 47, Pasal 112 juncto Pasal 51 ayat 2, Pasal 113, dan Pasal 57 UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
Kemudian, Pasal 64 ayat 21 UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Pangan, Pasal 142 UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Pasal 435 juncto Pasal 138 ayat 2 dan 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Kesehatan, dan Pasal 62, Pasal 8 ayat 1, Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.